Profil Bale Juroeng

Bale Juroeng

Bale Juroeng adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, berdiri 6 April 1999 di Langsa, Aceh dengan aktivitas utama dibidang Lingkungan Hidup dan Budaya, berbasiskan pada masyarakat, tidak mengambil untung, melakukan kegiatan secara swadaya, juga dapat melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah, organisasi, dunia usaha, dan individu di dalam dan luar negeri dengan tatanan kerja saling menghormati dan dapat diperc

Aktivitas Bale Juroeng

Bale Juroeng dalam melakukan aktivitas kegiatannya, menjunjung tinggi kearifan lokal, tidak melanggar etika beragama, budaya, suku dan antar golongan, bekerja sesuai kemampuan sumber daya manusia yang kami miliki, dan memastikan pekerjaan tersebut dapat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dan budaya di wilayah kerja.


Tujuan Kami

  • Mendukung rakyat dan masyarakat serta negara untuk menentukan masa depan pengelolaan lingkungan dan budaya secara berkelanjutan.
  • Memastikan bahwa setiap kegiatan dari dana hibah berjalan sesuai perencanaan sehingga bermanfaat bagi lingkungan yang tepat dan kegiatan tersebut dijalankan sesuai dengan arahan lingkungan, tata cara, sifat sosial dan budaya lokal.


27 November 2011

SERANGKAIAN UPAYA LSM BALE JUROENG UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN KOTA LANGSA


SEKILAS INFO

Pada bulan Juli 2011 Bank Mandiri cabang Langsa ditemani oleh Dinas terkait di Kota Langsa mengunjungi Hutan Kota Langsa dalam rangka penjajakan untuk mengembangkan kawasan tersebut. Corporate Social Responsiblty (CSR) adalah sebuah program kepedulian Badan Usaha Milik Negara untuk membantu masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada kunjungan tersebut telah dicapai kesepahaman awal bahwa Hutan Kota Langsa memenuhi syarat program CSR, komitmen awal ini ditindak lanjuti dengan membuat proposal perencanaan.

Dalam pertemuan lanjutan telah diajukan 2 buah proposal perencanaan Hutan Kota Langsa yaitu dari LSM Bale Juroeng dan salah satu Konsultan di Kota Langsa, hasil akhir dari pengajuan proposal tersebut telah dipilih proposal LSM Bale Juroeng sebagai acuan untuk diajukan kepada PT. Bank Mandiri (Tbk). Secara lisan pimpinan Bank Mandiri cabang Langsa memberikan tanggapan positif bahwa proposal yang diajukan telah disetujui kantor pusat.

Salah satu peluang lain dari upaya pengelolaan Hutan Kota Langsa yaitu pada tahun 2010 Kota Langsa mengikuti ajang kompetasi Inovasi Pembangunan sub kegiatan penataan Ruang Terbuka Hijau, dan dari kompetisi ini tahun 2011 Kota Langsa mendapatkan Juara III nasional dan memperoleh pendanaan (DED) untuk perencanaan Hutan Kota Langsa sebesar 300 juta rupiah.

PELUANG BERJALAN DITEMPAT

Sampai akhir bulan Nopember 2011, 2 buah peluang untuk mengembangkan Hutan Kota Langsa agar berhasil guna dan berdaya guna masih belum berjalan, LSM Bale Juroeng ingin mengimbau kepada semua pihak yang berpartisipasi dan berkempentingan hendaknya bermusyawarah secara intensive mencari solusi agar kegiatan ini bisa berjalan, khususnya kepada Konsultan pemenang tender perencanaan Pengelolaan Pembangunan Hutan Kota Langsa dan PPATK Dinas Cipta Karya provinsi Aceh hendaknya berkoordinasi dengan Pemko Langsa dan LSM Bale Juroeng dalam melaksanakan pekerjaan tersebut, dengan tujuan akhir agar perencanaan yang dilaksanakan tidak tumpang tindih dan selesai sesuai jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut.

Harus diingat bahwa, Hutan Kota Langsa telah dikelola secara swadaya oleh LSM Bale Juroeng sejak tahun 2000 dan Perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia tidak ada yang bertentangan dengan maksud dari kegiatan-kegiatan tersebut, LSM Bale Juroeng mengingatkan kepada semua stake holder, bahwa setiap penyimpangan dan pelanggaran etika dalam pembangunan Hutan Kota Langsa, kami akan mengupayakan tindakan awal bermusyawarah dan jika tidak dicapai kesepakatan akan diajukan ke meja hijau.

25 November 2011


PELUANG DAN TANTANGAN
PENGELOLAAN HUTAN KOTA LANGSA 

Gambaran Umum

     Hutan Kota Langsa merupakan hamparan hutan seluas 10 ha di desa/ gampong Paya Bujuk Seuleumak, Kecamatan Langsa Baro, Pemerintah Kota Langsa dengan fungsi lindung dan memberi manfaat ekologi, ekonomi dan sosial di kawasan tersebut.

     Secara universal dikatakan jika sebuah kota memiliki hutan kota, maka kota tersebut merupakan kota yang berbudaya, pada sisi lain hutan kota merupakan ruang terbuka hijau yang harus tersedia dan dikembangkan untuk dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Penjabaran lebih lanjut manfaat Hutan Kota yaitu:
-          Sebagai paru-paru kota.
-          Mencegah intrusi air laut menuju daratan.
-          Menahan terpaan angin bagi pemukiman sekitarnya.
-          Sumber cadangan air.
-          Tempat mengungsi dan berkembang biak satwa liar tersisa.
-          Tempat tujuan wisata alam.
-          Tempat praktek pendidikan dan sumber ilmu pengetahuan.
-          Sumber bank bibit berbagai jenis tanaman.
-          Memberikan manfaat ekonomi dan sumber mata pencaharian bagi warga sekitar.
-          Menjadi trade mark/ kebanggaan sebuah kota.
-          Mengurangi polusi udara.

     Sejak tahun 2000, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bale Juroeng terpanggil untuk memulai pengelolaan Hutan Kota Langsa secara berkelanjutan, pada saat tersebut kondisi areal hutan sangat memprihatinkan karena dari luas areal hutan 10 ha hanya tersisa 3 ha areal hutan yang masih di tumbuhi dengan dominasi tegakan pohon Damar Laut, sisanya seluas 7 ha ditumbuhi semak belukar. Penyusunan perencanaan awal disusun berdasarkan konsep untuk mengembangkan hutan kota tersebut menjadi kebun raya, setelah berbenah diri selama 3 tahun dengan membersihkan/ pengimasan lahan dan reboisasi tertata maka tepatnya pada tanggal 5 Juni 2003 dimulailah pencanangan hutan kota untuk dikembangkan agar berhasil guna dan berdaya guna bagi masyarakat dan Negara.

     Kegiatan kampanye social dilaksanakan dengan menyebarkan informasi melalui media tulis dan elektronik tentang keberadaan hutan kota dan potensinya jika di kelola dengan benar, seiring perkembangan waktu selama 7 tahun pengelolaan dari kemampuan swadaya sumber daya manusia dan sumber daya pendanaan telah memberikan hasil positif, diantaranya keberadaan hutan kota telah mulai dikenal masyarakat Kota Langsa khususnya dan secara umum juga telah dikenal oleh masyarakat kota-kota lainnya di daerah Aceh. Pada awal terbentuknya Pemerintah Kota Langsa pada tahun 2001, hutan kota tersebut luput menjadi perhatian, dan sejak tahun 2007 peran Pemko Langsa untuk merespon hutan kota sebagai salah satu potensi daerah mulai terlihat, walaupun aktivitas pembangunan untuk kawasan tersebut belum terwujud yang salah satu permasalahan yaitu keterbatasan dana.

     Permasalahan lainnya dapat dijelaskan, belum ada kesepahaman dan etika dari oknum jajaran Pemko Langsa membuat kegiatan LSM Bale Juroeng berjalan sendiri dengan kemampuan swadaya, kesepahaman mulai terbentuk sejak bulan Juli 2010 dimana Pemko Langsa mulai gencar untuk  menambah areal hutan kota dari 10 ha menjadi 30 ha dengan menyurati Gubernur Provinsi Aceh untuk memohon kepada Menteri terkait untuk dialihkan lahan HGU PTP Nusantara 1 seluas 20 ha yang bersebelahan dengan areal hutan kota. Penghargaan IMP award dari Menteri Dalam Negeri telah diperoleh Pemko Langsa dan Masyarakat dengan mendapat Piagam juara ke-III nasional untuk bidang penataan Ruang Hijau pada tanggal 22 Februari 2011.

     Untuk meningkatkan pengelolaan hutan kota, maka dikeluarkan Keputusan Walikota Langsa, Nomor: 777/661/2010, tentang Pembentukan Tim Penataan, Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Kota Langsa dengan unsur LSM Bale Juroeng berada di dalam tim tersebut.

TUJUAN PROYEK



     Mengembangkan Hutan Kota Langsa melalui pembangunan sarana dan prasarana dengan dasar kegiatan konservasi sehingga memberikan nilai tambah terhadap fungsi ekologi, ekonomi dan sosial kawasan tersebut memperhatikan kearifan lokal secara berkelanjutan.




MANFAAT PROYEK



     Pengelolaan Hutan Kota Langsa diharapkan akan memberikan manfaat bagi seluruh stakeholder, diantaranya berkembangnya potensi hutan kota sehingga bisa memberikan Pendapatan Asli daerah (PAD), tempat tujuan wisata masyarakat, tumbuhnya ekonomi masyarakat dan tertampungnya tenaga kerja, selanjutnya dana Corporate Social Responsibility dari BUMN dan swasta nasional,  Akan berhasil guna dan dan berdaya guna.



  

KENDALA DAN HAMBATAN



     Disamping faktor bencana alam yang dapat menghambat kegiatan pembangunan hutan kota, juga terdapat hambatan lainnya yaitu terjadinya ketidak sepahaman dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dikarenakan kegiatan konservasi walaupun perencanaan yang telah disetujui untuk dilaksanakan akan tetapi pada saat pelaksanaan akan terjadi perubahan-perubahan di lapangan.



     Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka hambatan tersebut harus diubah menjadi peluang melalui iktikat baik seluruh stakeholder melalui 1 (satu) visi kegiatan untuk membuat yang terbaik bagi pengembangan pengelolaan Hutan Kota Langsa secara berkelanjutan, dimana bila terjadi hambatan/ kendala di lapangan harus dikedepankan musyawarah dan mufakat.




METODOLOGI KEGIATAN



     Metodologi kegiatan merupakan program fasilitasi Pembangunan Hutan Kota Langsa secara berkelanjutan dengan dasar konservasi untuk meningkatkan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial sehingga memberi manfaat bagi seluruh stakeholder.



     Strategi yang dijalankan untuk program yaitu kesepahaman seluruh stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaan untuk optimalisasi fungsi dan manfaat Hutan Kota Langsa dan dilakukan kegiatan monitoring serta evaluasi kegiatan per minggu, membuat laporan kegiatan perbulan dan laporan akhir kegiatan.




KEBERLANJUTAN PROGRAM


     Pengelolaan Hutan Kota Langsa setelah berakhirnya program pembangunan akan di kelola oleh Tim Penataan, Pengelolaan dan Pembangunan Hutan Kota Langsa yang didalamnya terdapat unsur LSM Bale Juroeng, selain pemasukan rutin dari sarana dan prasarana yang telah di bangun, diharapkan adanya anggaran pembangunan dari APBK, APBA dan APBN, juga dana hibah dari luar negeri yang tidak mengikat.

22 November 2011


Community empowerment to increase family income through animal raising and natural resource management in Leuser Ecosystem Area  in Tenggulun and Batu Bedulang Villages, Aceh Tamiang, Indonesia.

1. Project Profile



This project will improved the livelihood of the communities residing in 2 (two) villages of Trunggulun and Batu Bedulang of Aceh Tamiang district, Nanggroe Aceh Darussalam. This three year active project duration will  serve 150 families (consist of 40% women, 40% men and 20% youths). The 120 participating families will be supported  with 435 goats, 300 kg of horticulture seeds, micro credit. Meanwhile for the youths groups, they will be supported with 300 ducks, 7500  cat fish or tilapia and creation of two tree nurseries, and  village library as centre of learning. And additional 300 families will be assisted through Passing on the Gifts



Environment will also be the major focus of the projects where the elements of land management, decrease of illegal logging and improvement of soil and water  conservation will be implemented while utilizing local resources such as Pandanus for handy crafts, legume and grass will be planted  also by project participant as a animal feed.  Project participants will also receive technical and non- technical trainings including: Values-based holistic community development and Heifer’s Cornerstones, animal well-being, gender equity, business management, agro ecology, village library and horticulture.



2. Background and History of Project Holder/Partner



Lembaga Swadaya Masyarakat Bale Juroeng is a Non Government organization that was established by groups of environmentalist activists in Aceh since 06 April 1999.  Its vision is to manage the forest of the Leuser Ecosystem  with the best interest of the community and environment while creating the traditional farming community to be self reliant.

Such programs that had been carried out by the Bale Juroeng currently are the Leuser Ecosystem Conservation Program, Capacity Building of Community Group and Empowerment of the traditional farmer. Bale Juroeng had also some work experience with Diakonie - German in their mangrove rehabilitation projects, post disaster housing recovery and livelihood program, building schools and clean water of Aceh Tamiang community and on the development of safe energy stove program. Collaborated with Bina Swadaya (a national NGO), Bale Juroeng also conduct a development works for the farmer groups and fishermen in Bireun sub district and Aceh Timur. They also have their own individual program which is on management of city forests in Langsa City and also mangrove conservation forest in Aceh Timur.





3.         Project Rationale – Local Conditions and Opportunities to assist



The Aceh Tamiang District of  Nangroe Aceh Darussalam Province (Aceh) is one of the province in Indonesia which is located on the northern tip of the Sumatra Island. This province is gifted with rich natural resources but their poverty level is number 4th from the 32 province in Indonesia. The poverty level is accounted upto 1.157.200 people or 28,47% from the total population of Aceh which accounted for 4.075.600 people. (Central Statistic Bureau BPS 2004).  




 Aceh Tamiang District is 1.939,72 km2 in size and consists of 212 villages and 27 traditional settlement of 03 53 - 04 32' LU upto 97 44'- 98 18' BT in the globe. The major product of this district is palm oil where the plantation covers around 80% of the land; some of the plantation is a state owned palm oil plantation, some are owned by private companies and some by individual people. In terms of transportation, water transportation carrier is an alternative that many people used because in this district, there are 2 (two) big rivers flowing; Sungai Tamiang and Sungai Kaloy.  Meanwhile its people largely work as farmers and plantation labour. It is also common to found that in certain locations in the forest that illegal logging activities is carried out in the Leuser Ecosystem.  Regarding the ethnicity, the community in the Heifer project sites are Suku Tamiang, Gayo and Javanese.



A big flood in 2006 had caused some major damage to the infra structure/public facility, decrease public service, destruct the environment, and the lost of income source for the community. Until now, the reconstruction, physical rehabilitation and the socio economic culture of the community had become the major needs in the area. There are still a large number of refugees still living in the temporary shelter. In terms of livelihood, although there are many institution who participate in the rehabilitation program such as through post harvest program, but there are still some potentials that had not been developed in optimum to support the income of the community.


Opportunities for Assistance



For the uplands area, there are many potentials for freshwater fish breeding. The abundant water source can provide an agreeable environment for ducks breeding. Much potential for livestock breeding is also found such as legume and fodders. In terms of household industry, there are many pandanus plants growing which can be process to various handicrafts. This project will enforce on local indigenous knowledge and skill so that the community are able to utilize the natural resources surrounding them in an economic and sustainable ways. 



This program will provides positive contribution on the conservation activities in the Leuser ecosystem and Wampu rivers buffer zones through establishing a tree nurseries in each village, environmental awareness activities to the children and youths by rehabilitating the forest areas and other go-green activities.



The number of youths in Batu Bedulang village is around 35 youths and these youths potentials are still unutilize. Generally, these youths are drop-outs of Elementary Schools and Intermediate Schools. This conditions generates from the difficulties in accessing to a higher level of schoolings due to the isolated locations of the Batu Bedulang village. Around 75% of the youths  in the village are helping their families on the farmland, carrying the heavy loggs downs to the river (illegal logging) , and some become hand labour in the palm oil plantation. In terms of the existed organization in the village that can accomdate the youths, there is only the Youths Mosque Organization and Traditional Cultural Organization (Gayo). Their activities is mostly done after the sun had ben set in the horizon (night time).



Meanwhile for the youths in Trenggulun village, their number is around 47 youths. Differ to the Batu Bedulang youths, the youths in Trenggulun village have the access to go to the High schools although the road condition to get there is extremely poor. The youths in this village mostly spend their time doing sports such as volleyball, soccer and others due to the availability of a sport facility. There is an organization of Youth Mosque Organization and Karang Taruna, where these 2 (two) organizations had actively accomodate the activities of the village youths.



Farmers will be empowered economically and socially through self-help groups. Self-help groups – made up of 23-24 village members – are a sustainable means for social and economic empowerment. Self-help groups (SHGs) form their own goals and visions for their family, group, and community.  All SHGs conduct regular meetings, trainings and saving and credit schemes. SHGs will also receive training on Heifer’s cornerstones and gender awareness.  



To ensure productivity of livestock, participants will actively participate in field-based trainings on effective and appropriate forage and animal health management. The families will receive local timber seedlings and horticulture seeds.  Trainings will help strengthen their organic farming and conservation practices. Participants will also actively participate in other technical trainings on animal well being, horticulture and agro ecology.  These practices will promote organic farming and discourage the use and need of chemical fertilizers.  This will teach farmers how to utilize their own resources and not spend money.

18 November 2011


CERIA BERMAIN DI HUTAN KOTA LANGSA

Sore yang indah sekumpulan anak-anak di Lorong Bukit, desa (Aceh : gampong) Paya Bujok Seulemak, Kota Langsa, selepas mengaji menghabiskan waktu dengan bermain Patok Lele. Permainan patok lele merupakan permainan anak-anak dikenal pada semua daerah di nusantara, permainan ini dimainkan secara beregu (2 regu), 1 regu memainkan 2 bagian stick kayu, 1 bagian lebih pendek dan satu bagian stick kayu lebih panjang sebagai alat pemukul stick kayu yang lebih pendek, sedangkan 1 regu yang lain menjaga stick yang dipukul menuju kearah mereka.
Secara bergiliran dengan aturan yang mereka tetapkan permainan patok lele terus berlanjut, dan diakhir setiap babak permainan regu yang kalah dikenakan denda seperti berjalan dengan kaki sebelah atau denda menggendong regu yang menang. Melihat perkembangan teknologi computer hampir dapat dipastikan permainan rakyat ini kemungkinan akan terlupakan, sebagian besar anak-anak dimana daerah mereka telah terdapat jaringan internet secara masal anak-anak bermain game di internet.
Fasilitas bermain di dunia maya dan diruang terbuka hijau sama-sama merupakan sebuah kebutuhan yang mesti terpenuhi untuk dunia anak-anak. Masing-masing kegiatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan bagi perkembangan daya nalar anak.

Sebut saja Azhar, sedang mendapat giliran untuk memukul stick kayu, dengan dua kali pukulan stick kayu lebih pendek dipukul kearah lawan, Dany berlari kearah kayu yang dipukul berusaha untuk menggapainya dan terlepas dari genggamannya, sial benar ujarnya sehingga membuat teman-teman bermainnya mentertawai, begitulah dunia anak-anak dimana pada saat mereka bermain begitu terlihat bahagia.

02 November 2011


AIR TERJUN

Suatu daerah yang memiliki air terjun sudah pasti menjadi tempat kunjungan wisata, semangkin mudah akses untuk mencapainya maka semakin ramai masyarakat untuk mengunjunginya. Banyak legenda di dunia belahan timur dan barat menceritakan bahwa air terjun adalah suatu kawasan yang kerap dikunjungi bidadari untuk mandi, pada saat tertentu sehabis hujan akan muncul pelangi dan diceritakan pada saat tersebutlah para bidadari turun dari khayangan untuk mandi di kawasan tersebut. 

Kenyataannya keberadaan air terjun dengan pancuran airnya yang sangat indah itu tergantung kepada kualitas hutan di lingkungan sekitarnya, semakin tinggi tekanan kerusakan hutan maka semakin beresiko hilangnya sebuah air terjun, khususnya di Indonesia satu per satu air terjun hilang seiring degradasi kawasan hutan.

AIR TERJUN BERTINGKAT TUJUH

              Air terjun bertingkat tujuh adalah salah satu keindahan alam yang berada di kabupaten Aceh Tamiang, tepatnya berada di desa (Aceh: Gampong) Selamet (desa pemakaran dari desa Tenggulon) Kecamatan Tenggulon. Untuk mencapai air terjun betingkat tujuh ini kurang lebih berjarak 60 km dari Karang Baru ibukota Kabupaten Aceh Tamiang dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan.
           Dari kunjungan lapangan di bulan Oktober 2011 menunjukkan bahwa air terjun bertingkat tujuh tersebut masih sangat alami dan memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata, walaupun kualitas hutan di sekitarnya telah mengalami degradasi yang signifikan dan memerlukan penanganan komprehensif untuk dilakukan perbaikan dengan merenaturalisasi kembali kawasan tersebut.
         Potensi dari air terjun bertingkat tujuh di Kecamatan Tenggulon memerlukan penangan dari tangan-tangan trampil dari unsur pemerintah dan masyarakat sekitarnya agar di kelola lebih lanjut sehingga di masa depan potensi tersebut dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya bagi Kabupaten Aceh Tamiang.


Tindakan segera yang mesti menjadi perhatian adalah pembangunan jalan, pemberdayaan dan penyuluhan masyarakat, pengkajian pembuatan Qanun (Perda) Pemerintah Kabupaten dan Peraturan Desa (Perdes), serta tindakan terpenting segera yang mesti dilaksanakan yaitu kegiatan reboisasi kawasan hutan kritis di areal tersebut.

12 Oktober 2011

PENGELOLAAN AGROFOREST DI MASYARAKAT (3)

Terbentuknya Agroforest Masyarakat
        
        Pada dasarnya, pengelolaan agroforest di masyarakat Aceh adalah kegiatan pengelolaan hasil dari hutan alam, sesuai pengamatan pada desa-desa (Aceh: Gampoeng) di pinggiran hutan (enclave villages) menunjukkan kebun rakyat sudah terbentuk lama, dan merupakan bagian dari warisan para leluhur, beberapa jenis tanaman hutan seperti; pohon salam, kayu manis, kemenyan, jengkol, melinjo dan alpukat serta sentang ditanam (sengaja di tinggalkan saat pembukaan lahan hutan), dalam perkembangannya masyarakat Aceh mulai memodifikasi untuk memperkaya jenis tanaman yang ditanam dengan durian, mangga, pala, kopi, pinang, dan kelapa. Pemerintah kolonial Belanda pada perkembangan selanjutnya mulai memperkenalkan tanaman karet, tembakau, coklat, kopi dan kelapa sawit (pada saat itu masih uji joba di wilayah Aceh Barat), serta pinus (Gayo Lues, Benar Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Besar).

              Kegiatan-kegiatan masyarakat dalam penjarangan tanaman hutan yang disisakan saat pembukaan lahan adalah bentuk minimalisasi modifikasi ekosistem di areal tersebut, pohon-pohon yang ditinggalkan merupakan jenis tanaman serbaguna yang bermanfaat, perubahan mikro dari ekosistem secara rata-rata berkisar selama 8 tahun, pada priode tersebut pengkayaan tanaman bermanfaat terus dilakukan beriringan dengan kegiatan penanaman tanaman pangan, rempah-rempah dan obat-obatan seperti; padi ladang, ubi-ubian, sayuran, jagung, serai, pandan, lada dan sirih, ekosistem pada kawasan tersebut akan pulih memasuki tahun ke-15 dan pada saat tersebut kebun-kebun telah dapat menghasilkan panen yang relative baik.


Penyesuaian Agroforest Dari Perkembangan Modernisasi Pedesaan.
           Sejarah telah membuktikan banyak pedesaan di daerah Aceh yang memiliki perkebunan dengan model agroforest memperolah keuntungan sosial-ekonomi dan ekologi, kebun-kebun rakyat tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, perlindungan terhadap air dan tanah, terjaminnya keberadaan bibit jenis tanaman serbaguna asli suatu daerah serta yang tak kalah penting dari pemanfaatan kebun-kebun tradisional tersebut juga mampu mengurangi kegiatan urbanisasi masyarakat desa menuju perkotaan.

                    Pergeseran jumlah jenis tanaman yang ditanam pada kebun tradisional dari bentuk awal dengan rata-rata 10 sampai 20 jenis tanaman menjadi hanya 4 jenis tanaman utama saja yaitu karet, coklat, pinang dan kelapa, hal ini menunjukkan bahwa sistem agroforest harus disesuaikan fungsinya dari modifikasi ekosistem asli suatu kawasan telah menjadi suatu sistem baru dimana areal tersebut menjadi suatu kawasan ekosistem penyangga bagi kawasan hutan alam.
         Perkembangan modernisasi sebuah desa sulit terbendung, sehingga di masa mendatang dapat berakibat lebih lanjut yaitu terjadinya  peningkatan degradasi kawasan hutan alam. Agroforest sebagai hutan buatan memerlukan suatu pengelolaan yang cermat agar bisa menghasilkan kebutuhan masyarakat sehari-hari dan menjadi suatu alat pendorong meningkatnya pendapatan mereka, dengan demikian hasil akhir yang ingin dicapai dari pengelolaan agroforest harus mampu diarahkan sebagai pengganti fungsi hutan alam.

10 Oktober 2011


PENGELOLAAN AGROFOREST DI MASYARAKAT (2)

Degradasi Kawasan Hutan
                Bencana tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir pantai di daerah Aceh, merengut ratusan ribu korban jiwa manusia dan melemahnya sendi-sendi kehidupan perekonomian masyarakat. Sebelum mega bencana itu terjadi wilayah Aceh sedang bergolak dengan konflik bersenjata, disaat itu relative tidak ditemukan pembukaan baru kawasan hutan, produksi perkebunan badan usaha Negara dan swasta menurun drastis, kebun-kebun masyarakat dibiarkan terlantar, saat itu hutan mulai berseri, burung-burung dan satwa liar lainnya berkembang biak relative sangat baik.
                Paska bencana dan terciptanya perjajian perdamaian, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh bergerak sangat cepat, pembangunan prasarana dan sarana yang hancur memberikan dampak positif bagi pemulihan kehidupan masyarakat, dunia usaha kembali bergairah, masyarakat pedesaan mulai bangkit mengelola lahan persawahan dan perkebunan mereka, dalam penanganan program pembangunan di Aceh tersebut mendapat pujian banyak fihak dari hasil pencapaiannya.
                Dampak dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana tsunami dan perjanjian perdamaian di Aceh, mulai terlihat di tahun 2008, dengan membaiknya kondisi keamanan khususnya terhadap kawasan hutan memberikan dampak yang signifikan, walaupun Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mencanangkan kebijakan “Moritorium”/ jeda penebangan kayu, kenyataan di lapangan degradasi kawasan hutan terus meningkat tajam, hal ini dapat dilihat dari hampir sebagian besar kabupaten dan kota di provinsi Aceh terjadi perambahan kawasan hutan, dengan mata rantai dari kegiatan tersebut terjadinya peningkatan penjualan kayu secara illegal, dan terjadinya konflik satwa liar dengan manusia serta beberapa species flora dan fauna terancam punah terus di buru untuk di perdagangkan secara illegal.

Pengurangan Resiko Terhadap Degradasi Kawasan Hutan
                Dalam ilmu ekonomi disebutkan pembangunan akan menghasilkan perubahan-perubahan, pandangan positif dari perubahan pembangunan harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan yang positif harus dapat mengurangi resiko terhadap dampak lingkungan.
                Pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit baik dari kegiatan legal maupun kegiatan illegal mencakup lebih dari 80% dari luas perambahan kawasan hutan, kegiatan ini dalam jangka pendek dan panjang secara signifikan akan memberikan dampak negative dari penurunan kualitas lingkungan, fakta juga menunjukkan perkebunan kelapa sawit skala besar hanya memberikan pemasukan bagi daerah Aceh dari pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sedangkan pajak pendapatan lainnya hanya menguntungkan daerah luar provinsi Aceh karena pelabuhan utama tujuan ekspor CPO berada di provinsi lain, disamping itu perusahaan swasta nasional yang memiliki perkebunan kelapa sawit di wilayah Aceh relative tidak satupun mereka membuka kantor pusatnya di daerah ini, selanjutnya dalam jangka panjang dari pencemaran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) telah turut menyumbang penurunan tingkat kesehatan dan penurunan sampai kegagalan panen (tambak) dari kegiatan usaha masyarakat Aceh di sekitar PKS.
                Gairah dan semangat masyarakat untuk membuka kawasan hutan tentu tidak bisa dihambat, akan tetapi harus ada kebijakan untuk menghentikan atau mengurangi penanaman kelapa sawit di kawasan hutan yang dibuka. Beberapa jenis tanaman perkebunan lebih ramah lingkungan seperti tanaman karet, coklat (tumpang sari) dengan pinang serta tanaman hutan industry seperti (jabon, sengon, akasia). Kebun-kebun kelapa sawit yang telah ada di daerah Aceh masih sangat rendah produktivitasnya, sehingga kebijakan zero penanaman sawit di daerah ini sudah harus dimulai dari sekarang, pemerintah daerah harus lebih aktif mengkampanyekan penanaman bagi perkebunan skala besar dan masyarakat agar menanam karet, coklat, pinang, kelapa dan mengembangkan hutan tanaman industry seperti jabon, sentang, sengon, jati, akasia, pinus dan gaharu.

09 Oktober 2011


PENGELOLAAN AGROFOREST DI MASYARAKAT (1)

Pergeseran Kearifan Lokal Dalam Membentuk Sistem Agroforest
                Beragam suku bangsa di pulau sumatera memiliki sistem pembukaan lahan hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Di masa lalu membuka hutan dengan azas keharmonisan, lahan yang telah dibuka di tata kembali dengan menanam tanaman serbaguna sehingga membentuk hutan buatan baru. Desa-desa dipinggiran hutan alam tertata dimulai dari lahan pemukiman, persawahan, perkebunan dan hutan alam.
                Bentangan alam pada lahan pemukiman dan persawahan relative datar, sedangkan lahan perkebunan dimulai dari areal perbukitan sampai ke dataran yang lebih tinggi. Perkembangan peradaban manusia hampir disetiap pedesaan menunjukkan bahwa untuk lahan pemukiman dan persawahan relative tidak bertambah luasnya, sedangkan sebaliknya lahan perkebunan terus bertambah luasnya, dan dengan jelas dapat kita simpulkan bahwa untuk memenuhi peningkatan lahan perkebunan tersebut yaitu dengan membuka kawasan hutan.
                Sistem klasik secara umum perkebunan masyarakat pedesaan, khususnya di provinsi Aceh yaitu dengan menanami tanaman serbaguna seperti; pinang, meninjo, kemiri, durian, asam gelugur, cengkeh, kopi, kayu manis, jeruk manis, pokat (dataran tinggi), pala (pantai barat) lada, aren, sagu, pohon sentang dan bayu. Kebun di pekarangan rumah lebih didominasi dengan tanaman buah produktif dan tanaman obat-obatan serta bahan untuk bumbu sayuran seperti; belimbing sayur, mangga, langsat, rambutan, jeruk manis, jeruk nipis, kelapa, pinang, temerui, sirih, kunyit, jahe dan lengkuas serta tanaman serbaguna lainnya.
                Sejak diperkenalkan sisten perkebunan moderen oleh negara Kolonial Belanda , telah terjadi pergeseran sistem perkebunan masyarakat dari tanaman heterogen menjadi tanaman homogen, kebun-kebun rakyat saat ini didomisasi hanya satu atau dua tanaman saja, yaitu karet dan coklat, selanjutnya perkembangan terbaru tanaman yang mendominasi perkebunan rakyat yaitu kelapa sawit dan tanaman ini telah mengepung seluruh wilayah provinsi Aceh dari pesisir pantai timur dan barat menuju ke dataran tinggi.

Pintu Rimba
Pintu rimba (Aceh: pinto rimba, Gayo: pinto rime) adalah sebuah makna dalam peradaban masyarakat di Aceh sebagai pedoman hidup mereka mengelola kawasan perkebunan dan hutan alam. Pada batas-batas desa mereka dengan hutan terdapat beberapa titik yang ditentukan oleh adat sebagai pintu rimba, secara umum dapat dijelaskan bahwa pintu rimba tersebut adalah tapal batas antara peradaban masyarakat dengan peradaban yang lebih luas yaitu seluruh makhluk hidup yang berada didalam hutan.
                Penjelasan lebih lanjut mengenai pintu rimba tersebut bermakna dan memiliki dasar hukum adat bahwa bagi masyarakat dilarang keras untuk membuka lahan hutan melebihi titik penentuan batas yang ditetapkan sebagai pintu rimba, sesuai kebutuhan masyarakat secara bersama, pintu rimba tersebut dapat digeser/ dipindahkan untuk perluasan lahan perkebunan tentu saja melalui kesepakatan/ musyawarah masyarakat desa. Sistem hukum adat tersebut saat ini telah hampir punah dan sangat jarang dipatuhi oleh masyarakat Aceh.