Profil Bale Juroeng

Bale Juroeng

Bale Juroeng adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, berdiri 6 April 1999 di Langsa, Aceh dengan aktivitas utama dibidang Lingkungan Hidup dan Budaya, berbasiskan pada masyarakat, tidak mengambil untung, melakukan kegiatan secara swadaya, juga dapat melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah, organisasi, dunia usaha, dan individu di dalam dan luar negeri dengan tatanan kerja saling menghormati dan dapat diperc

Aktivitas Bale Juroeng

Bale Juroeng dalam melakukan aktivitas kegiatannya, menjunjung tinggi kearifan lokal, tidak melanggar etika beragama, budaya, suku dan antar golongan, bekerja sesuai kemampuan sumber daya manusia yang kami miliki, dan memastikan pekerjaan tersebut dapat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dan budaya di wilayah kerja.


Tujuan Kami

  • Mendukung rakyat dan masyarakat serta negara untuk menentukan masa depan pengelolaan lingkungan dan budaya secara berkelanjutan.
  • Memastikan bahwa setiap kegiatan dari dana hibah berjalan sesuai perencanaan sehingga bermanfaat bagi lingkungan yang tepat dan kegiatan tersebut dijalankan sesuai dengan arahan lingkungan, tata cara, sifat sosial dan budaya lokal.


09 Oktober 2011


PENGELOLAAN AGROFOREST DI MASYARAKAT (1)

Pergeseran Kearifan Lokal Dalam Membentuk Sistem Agroforest
                Beragam suku bangsa di pulau sumatera memiliki sistem pembukaan lahan hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Di masa lalu membuka hutan dengan azas keharmonisan, lahan yang telah dibuka di tata kembali dengan menanam tanaman serbaguna sehingga membentuk hutan buatan baru. Desa-desa dipinggiran hutan alam tertata dimulai dari lahan pemukiman, persawahan, perkebunan dan hutan alam.
                Bentangan alam pada lahan pemukiman dan persawahan relative datar, sedangkan lahan perkebunan dimulai dari areal perbukitan sampai ke dataran yang lebih tinggi. Perkembangan peradaban manusia hampir disetiap pedesaan menunjukkan bahwa untuk lahan pemukiman dan persawahan relative tidak bertambah luasnya, sedangkan sebaliknya lahan perkebunan terus bertambah luasnya, dan dengan jelas dapat kita simpulkan bahwa untuk memenuhi peningkatan lahan perkebunan tersebut yaitu dengan membuka kawasan hutan.
                Sistem klasik secara umum perkebunan masyarakat pedesaan, khususnya di provinsi Aceh yaitu dengan menanami tanaman serbaguna seperti; pinang, meninjo, kemiri, durian, asam gelugur, cengkeh, kopi, kayu manis, jeruk manis, pokat (dataran tinggi), pala (pantai barat) lada, aren, sagu, pohon sentang dan bayu. Kebun di pekarangan rumah lebih didominasi dengan tanaman buah produktif dan tanaman obat-obatan serta bahan untuk bumbu sayuran seperti; belimbing sayur, mangga, langsat, rambutan, jeruk manis, jeruk nipis, kelapa, pinang, temerui, sirih, kunyit, jahe dan lengkuas serta tanaman serbaguna lainnya.
                Sejak diperkenalkan sisten perkebunan moderen oleh negara Kolonial Belanda , telah terjadi pergeseran sistem perkebunan masyarakat dari tanaman heterogen menjadi tanaman homogen, kebun-kebun rakyat saat ini didomisasi hanya satu atau dua tanaman saja, yaitu karet dan coklat, selanjutnya perkembangan terbaru tanaman yang mendominasi perkebunan rakyat yaitu kelapa sawit dan tanaman ini telah mengepung seluruh wilayah provinsi Aceh dari pesisir pantai timur dan barat menuju ke dataran tinggi.

Pintu Rimba
Pintu rimba (Aceh: pinto rimba, Gayo: pinto rime) adalah sebuah makna dalam peradaban masyarakat di Aceh sebagai pedoman hidup mereka mengelola kawasan perkebunan dan hutan alam. Pada batas-batas desa mereka dengan hutan terdapat beberapa titik yang ditentukan oleh adat sebagai pintu rimba, secara umum dapat dijelaskan bahwa pintu rimba tersebut adalah tapal batas antara peradaban masyarakat dengan peradaban yang lebih luas yaitu seluruh makhluk hidup yang berada didalam hutan.
                Penjelasan lebih lanjut mengenai pintu rimba tersebut bermakna dan memiliki dasar hukum adat bahwa bagi masyarakat dilarang keras untuk membuka lahan hutan melebihi titik penentuan batas yang ditetapkan sebagai pintu rimba, sesuai kebutuhan masyarakat secara bersama, pintu rimba tersebut dapat digeser/ dipindahkan untuk perluasan lahan perkebunan tentu saja melalui kesepakatan/ musyawarah masyarakat desa. Sistem hukum adat tersebut saat ini telah hampir punah dan sangat jarang dipatuhi oleh masyarakat Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar