Profil Bale Juroeng

Bale Juroeng

Bale Juroeng adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, berdiri 6 April 1999 di Langsa, Aceh dengan aktivitas utama dibidang Lingkungan Hidup dan Budaya, berbasiskan pada masyarakat, tidak mengambil untung, melakukan kegiatan secara swadaya, juga dapat melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah, organisasi, dunia usaha, dan individu di dalam dan luar negeri dengan tatanan kerja saling menghormati dan dapat diperc

Aktivitas Bale Juroeng

Bale Juroeng dalam melakukan aktivitas kegiatannya, menjunjung tinggi kearifan lokal, tidak melanggar etika beragama, budaya, suku dan antar golongan, bekerja sesuai kemampuan sumber daya manusia yang kami miliki, dan memastikan pekerjaan tersebut dapat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dan budaya di wilayah kerja.


Tujuan Kami

  • Mendukung rakyat dan masyarakat serta negara untuk menentukan masa depan pengelolaan lingkungan dan budaya secara berkelanjutan.
  • Memastikan bahwa setiap kegiatan dari dana hibah berjalan sesuai perencanaan sehingga bermanfaat bagi lingkungan yang tepat dan kegiatan tersebut dijalankan sesuai dengan arahan lingkungan, tata cara, sifat sosial dan budaya lokal.


10 Oktober 2011


PENGELOLAAN AGROFOREST DI MASYARAKAT (2)

Degradasi Kawasan Hutan
                Bencana tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir pantai di daerah Aceh, merengut ratusan ribu korban jiwa manusia dan melemahnya sendi-sendi kehidupan perekonomian masyarakat. Sebelum mega bencana itu terjadi wilayah Aceh sedang bergolak dengan konflik bersenjata, disaat itu relative tidak ditemukan pembukaan baru kawasan hutan, produksi perkebunan badan usaha Negara dan swasta menurun drastis, kebun-kebun masyarakat dibiarkan terlantar, saat itu hutan mulai berseri, burung-burung dan satwa liar lainnya berkembang biak relative sangat baik.
                Paska bencana dan terciptanya perjajian perdamaian, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh bergerak sangat cepat, pembangunan prasarana dan sarana yang hancur memberikan dampak positif bagi pemulihan kehidupan masyarakat, dunia usaha kembali bergairah, masyarakat pedesaan mulai bangkit mengelola lahan persawahan dan perkebunan mereka, dalam penanganan program pembangunan di Aceh tersebut mendapat pujian banyak fihak dari hasil pencapaiannya.
                Dampak dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana tsunami dan perjanjian perdamaian di Aceh, mulai terlihat di tahun 2008, dengan membaiknya kondisi keamanan khususnya terhadap kawasan hutan memberikan dampak yang signifikan, walaupun Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mencanangkan kebijakan “Moritorium”/ jeda penebangan kayu, kenyataan di lapangan degradasi kawasan hutan terus meningkat tajam, hal ini dapat dilihat dari hampir sebagian besar kabupaten dan kota di provinsi Aceh terjadi perambahan kawasan hutan, dengan mata rantai dari kegiatan tersebut terjadinya peningkatan penjualan kayu secara illegal, dan terjadinya konflik satwa liar dengan manusia serta beberapa species flora dan fauna terancam punah terus di buru untuk di perdagangkan secara illegal.

Pengurangan Resiko Terhadap Degradasi Kawasan Hutan
                Dalam ilmu ekonomi disebutkan pembangunan akan menghasilkan perubahan-perubahan, pandangan positif dari perubahan pembangunan harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan yang positif harus dapat mengurangi resiko terhadap dampak lingkungan.
                Pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit baik dari kegiatan legal maupun kegiatan illegal mencakup lebih dari 80% dari luas perambahan kawasan hutan, kegiatan ini dalam jangka pendek dan panjang secara signifikan akan memberikan dampak negative dari penurunan kualitas lingkungan, fakta juga menunjukkan perkebunan kelapa sawit skala besar hanya memberikan pemasukan bagi daerah Aceh dari pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sedangkan pajak pendapatan lainnya hanya menguntungkan daerah luar provinsi Aceh karena pelabuhan utama tujuan ekspor CPO berada di provinsi lain, disamping itu perusahaan swasta nasional yang memiliki perkebunan kelapa sawit di wilayah Aceh relative tidak satupun mereka membuka kantor pusatnya di daerah ini, selanjutnya dalam jangka panjang dari pencemaran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) telah turut menyumbang penurunan tingkat kesehatan dan penurunan sampai kegagalan panen (tambak) dari kegiatan usaha masyarakat Aceh di sekitar PKS.
                Gairah dan semangat masyarakat untuk membuka kawasan hutan tentu tidak bisa dihambat, akan tetapi harus ada kebijakan untuk menghentikan atau mengurangi penanaman kelapa sawit di kawasan hutan yang dibuka. Beberapa jenis tanaman perkebunan lebih ramah lingkungan seperti tanaman karet, coklat (tumpang sari) dengan pinang serta tanaman hutan industry seperti (jabon, sengon, akasia). Kebun-kebun kelapa sawit yang telah ada di daerah Aceh masih sangat rendah produktivitasnya, sehingga kebijakan zero penanaman sawit di daerah ini sudah harus dimulai dari sekarang, pemerintah daerah harus lebih aktif mengkampanyekan penanaman bagi perkebunan skala besar dan masyarakat agar menanam karet, coklat, pinang, kelapa dan mengembangkan hutan tanaman industry seperti jabon, sentang, sengon, jati, akasia, pinus dan gaharu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar