PENGELOLAAN AGROFOREST
DI MASYARAKAT (3)
Terbentuknya Agroforest
Masyarakat
Pada dasarnya,
pengelolaan agroforest di masyarakat Aceh adalah kegiatan pengelolaan hasil
dari hutan alam, sesuai pengamatan pada desa-desa (Aceh: Gampoeng) di pinggiran
hutan (enclave villages) menunjukkan kebun rakyat sudah terbentuk lama, dan
merupakan bagian dari warisan para leluhur, beberapa jenis tanaman hutan
seperti; pohon salam, kayu manis, kemenyan, jengkol, melinjo dan alpukat serta
sentang ditanam (sengaja di tinggalkan saat pembukaan lahan hutan), dalam
perkembangannya masyarakat Aceh mulai memodifikasi untuk memperkaya jenis
tanaman yang ditanam dengan durian, mangga, pala, kopi, pinang, dan kelapa.
Pemerintah kolonial Belanda pada perkembangan selanjutnya mulai memperkenalkan
tanaman karet, tembakau, coklat, kopi dan kelapa sawit (pada saat itu masih uji
joba di wilayah Aceh Barat), serta pinus (Gayo Lues, Benar Meriah, Aceh Tengah
dan Aceh Besar).
Kegiatan-kegiatan
masyarakat dalam penjarangan tanaman hutan yang disisakan saat pembukaan lahan
adalah bentuk minimalisasi modifikasi ekosistem di areal tersebut, pohon-pohon
yang ditinggalkan merupakan jenis tanaman serbaguna yang bermanfaat, perubahan
mikro dari ekosistem secara rata-rata berkisar selama 8 tahun, pada priode
tersebut pengkayaan tanaman bermanfaat terus dilakukan beriringan dengan
kegiatan penanaman tanaman pangan, rempah-rempah dan obat-obatan seperti; padi
ladang, ubi-ubian, sayuran, jagung, serai, pandan, lada dan sirih, ekosistem
pada kawasan tersebut akan pulih memasuki tahun ke-15 dan pada saat tersebut kebun-kebun
telah dapat menghasilkan panen yang relative baik.
Penyesuaian Agroforest Dari
Perkembangan Modernisasi Pedesaan.
Sejarah telah membuktikan banyak pedesaan di daerah
Aceh yang memiliki perkebunan dengan model agroforest memperolah keuntungan sosial-ekonomi
dan ekologi, kebun-kebun rakyat tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat, perlindungan terhadap air dan tanah, terjaminnya keberadaan bibit
jenis tanaman serbaguna asli suatu daerah serta yang tak kalah penting dari
pemanfaatan kebun-kebun tradisional tersebut juga mampu mengurangi kegiatan
urbanisasi masyarakat desa menuju perkotaan.
Pergeseran jumlah
jenis tanaman yang ditanam pada kebun tradisional dari bentuk awal dengan
rata-rata 10 sampai 20 jenis tanaman menjadi hanya 4 jenis tanaman utama saja yaitu
karet, coklat, pinang dan kelapa, hal ini menunjukkan bahwa sistem agroforest
harus disesuaikan fungsinya dari modifikasi ekosistem asli suatu kawasan telah
menjadi suatu sistem baru dimana areal tersebut menjadi suatu kawasan ekosistem
penyangga bagi kawasan hutan alam.
Perkembangan
modernisasi sebuah desa sulit terbendung, sehingga di masa mendatang dapat
berakibat lebih lanjut yaitu terjadinya peningkatan
degradasi kawasan hutan alam. Agroforest sebagai hutan buatan memerlukan suatu
pengelolaan yang cermat agar bisa menghasilkan kebutuhan masyarakat sehari-hari
dan menjadi suatu alat pendorong meningkatnya pendapatan mereka, dengan
demikian hasil akhir yang ingin dicapai dari pengelolaan agroforest harus mampu
diarahkan sebagai pengganti fungsi hutan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar