PENGELOLAAN AGROFOREST DI
MASYARAKAT (2)
Degradasi Kawasan Hutan
Bencana tsunami
26 Desember 2004 menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir pantai di daerah
Aceh, merengut ratusan ribu korban jiwa manusia dan melemahnya sendi-sendi
kehidupan perekonomian masyarakat. Sebelum mega bencana itu terjadi wilayah
Aceh sedang bergolak dengan konflik bersenjata, disaat itu relative tidak
ditemukan pembukaan baru kawasan hutan, produksi perkebunan badan usaha Negara
dan swasta menurun drastis, kebun-kebun masyarakat dibiarkan terlantar, saat
itu hutan mulai berseri, burung-burung dan satwa liar lainnya berkembang biak
relative sangat baik.
Paska bencana dan
terciptanya perjajian perdamaian, rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh
bergerak sangat cepat, pembangunan prasarana dan sarana yang hancur memberikan
dampak positif bagi pemulihan kehidupan masyarakat, dunia usaha kembali
bergairah, masyarakat pedesaan mulai bangkit mengelola lahan persawahan dan
perkebunan mereka, dalam penanganan program pembangunan di Aceh tersebut
mendapat pujian banyak fihak dari hasil pencapaiannya.
Dampak dari
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana tsunami dan perjanjian
perdamaian di Aceh, mulai terlihat di tahun 2008, dengan membaiknya kondisi
keamanan khususnya terhadap kawasan hutan memberikan dampak yang signifikan,
walaupun Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mencanangkan kebijakan “Moritorium”/ jeda
penebangan kayu, kenyataan di lapangan degradasi kawasan hutan terus meningkat tajam,
hal ini dapat dilihat dari hampir sebagian besar kabupaten dan kota di provinsi
Aceh terjadi perambahan kawasan hutan, dengan mata rantai dari kegiatan
tersebut terjadinya peningkatan penjualan kayu secara illegal, dan terjadinya
konflik satwa liar dengan manusia serta beberapa species flora dan fauna
terancam punah terus di buru untuk di perdagangkan secara illegal.
Pengurangan Resiko Terhadap
Degradasi Kawasan Hutan
Dalam ilmu
ekonomi disebutkan pembangunan akan menghasilkan perubahan-perubahan, pandangan
positif dari perubahan pembangunan harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Pertumbuhan yang positif harus dapat mengurangi resiko terhadap
dampak lingkungan.
Pembukaan kawasan
hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit baik dari kegiatan legal maupun
kegiatan illegal mencakup lebih dari 80% dari luas perambahan kawasan hutan,
kegiatan ini dalam jangka pendek dan panjang secara signifikan akan memberikan
dampak negative dari penurunan kualitas lingkungan, fakta juga menunjukkan perkebunan
kelapa sawit skala besar hanya memberikan pemasukan bagi daerah Aceh dari
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sedangkan pajak pendapatan lainnya
hanya menguntungkan daerah luar provinsi Aceh karena pelabuhan utama tujuan
ekspor CPO berada di provinsi lain, disamping itu perusahaan swasta nasional
yang memiliki perkebunan kelapa sawit di wilayah Aceh relative tidak satupun
mereka membuka kantor pusatnya di daerah ini, selanjutnya dalam jangka panjang
dari pencemaran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) telah turut menyumbang penurunan
tingkat kesehatan dan penurunan sampai kegagalan panen (tambak) dari kegiatan
usaha masyarakat Aceh di sekitar PKS.
Gairah dan
semangat masyarakat untuk membuka kawasan hutan tentu tidak bisa dihambat, akan
tetapi harus ada kebijakan untuk menghentikan atau mengurangi penanaman kelapa
sawit di kawasan hutan yang dibuka. Beberapa jenis tanaman perkebunan lebih
ramah lingkungan seperti tanaman karet, coklat (tumpang sari) dengan pinang
serta tanaman hutan industry seperti (jabon, sengon, akasia). Kebun-kebun
kelapa sawit yang telah ada di daerah Aceh masih sangat rendah
produktivitasnya, sehingga kebijakan zero penanaman sawit di daerah ini sudah
harus dimulai dari sekarang, pemerintah daerah harus lebih aktif
mengkampanyekan penanaman bagi perkebunan skala besar dan masyarakat agar menanam
karet, coklat, pinang, kelapa dan mengembangkan hutan tanaman industry seperti
jabon, sentang, sengon, jati, akasia, pinus dan gaharu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar